Dunia seharusnya sudah memiliki perjanjian pengganti Protokol Kyoto sejak dua tahun lalu.
Di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 lalu, lebih dari 190 negara yang tergabung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa bertemu untuk mencari kata sepakat dalam upaya menahan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca yang berada di permukaan bumi. Dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 15) di Kopenhagen itulah perjanjian pengganti Protokol Kyoto diharapkan muncul.
Sayangnya, kesepakatan penting yang berpotensi menyelamatkan bumi dari kerusakan dan bencana itu gagal hadir.
Apa itu Protokol Kyoto?
Konvensi internasional yang mulai diterapkan pada 2005 ini mewajibkan negara-negara maju, sering disebut negara Annex I (Uni Eropa, Jepang, Kanada, Rusia, beberapa di antaranya), untuk mengurangi buangan emisi karbondioksida mereka.
Mereka dianggap lebih mampu secara ekonomi untuk beralih ke teknologi atau sumber energi yang lebih bersih. Negara-negara maju juga sudah punya keunggulan berpuluh-puluh tahun daripada negara berkembang untuk ‘membuang’ gas karbondioksida ke udara sehingga bisa kaya seperti sekarang.
Meski begitu, Amerika Serikat, salah satu polutan terbesar dunia yang juga negara maju, menolak terikat pada Protokol tersebut.
Ketergantungan Amerika Serikat pada bahan bakar fosil serta kedekatan administrasi Presiden George W Bush (saat itu) dengan industri minyak adalah beberapa faktor yang menyebabkan AS tak mau terikat pada perjanjian dunia ini.
Maka itu, apapun perjanjian dunia yang muncul untuk menggantikan Protokol Kyoto harus dapat memasukkan Amerika Serikat di dalamnya.
Setiap tahun, perwakilan dari negara-negara di bawah PBB bertemu untuk merancang sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengurangi buangan karbondioksida dunia.
Terlambat dua tahun dari tenggat waktu yang tercantum pada Protokol Kyoto, negara-negara dunia itu pun mencoba lagi menghasilkan kesepakatan global.
Di Durban, Afrika Selatan, pada 11 Desember 2011, Konferensi Perubahan Iklim PBB akhirnya mengeluarkan kesepakatan untuk mulai memiliki perjanjian baru pengganti Protokol Kyoto pada 2015 yang akan mulai berlaku pada 2020.
Kesepakatan yang baru akan keluar pada 2015 dan berlaku pada 2020 itu rencananya akan mengikat negara maju dan negara berkembang untuk mengurangi emisi karbondioksida mereka.
Lalu, apa yang terjadi antara sekarang sampai 2020? Hanya negara-negara Uni Eropa-lah yang menyatakan niatnya untuk terus mengurangi emisi karbon mereka.
Kanada, Jepang, dan Rusia –negara-negara polutan besar dunia—sudah menyatakan keluar dari Protokol Kyoto. Dengan Amerika Serikat tidak pernah terikat pada perjanjian ini, maka tidak ada lagi yang dapat mengontrol buangan karbondioksida ke bumi. Padahal emisi karbondioksida yang tinggi berpotensi menaikkan rata-rata suhu permukaan bumi.
Tanpa kendali internasional, dunia kini sedang menuju kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi sebesar 4 derajat Celsius. Padahal, PBB sudah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi yang dapat ditoleransi bumi ‘hanyalah’ 2 derajat Celsius.
Tampaknya kita sedang berjalan menuju kehancuran. Tapi jangan bayangkan kehancuran itu seperti kiamat yang datang lalu usai.
Dampak perubahan iklim datang berulang-ulang dengan keparahan yang makin meningkat. Bentuknya bisa berupa hujan yang semakin deras dan semakin sering sehingga menyebabkan banjir besar atau longsor. Bisa juga berupa kekeringan panjang, sehingga orang semakin sulit mencari air atau sawah-sawah tidak terairi.
Saat kekeringan melanda, gagal panen pun terjadi. Akibatnya, bahan pangan makin sulit dicari. Kalau ditemukan, harganya pun mahal. Bukan tidak mungkin, dunia akan kehabisan sumber makanan.
Susahnya membangun kesepakatan
Kenapa kesepakatan dunia untuk upaya menyelamatkan bumi itu susah sekali dicapai?
Emisi karbondioksida bukan hanya soal lingkungan semata. Ada aktivitas-aktivitas manusia di dalamnya, kemajuan ekonomi, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan infrastruktur dengan ekstremitas cuaca, serta kepentingan politik masing-masing negara.
Buat Amerika Serikat, negara yang paling dipaksa ikut dalam perjanjian internasional berikutnya, polusi yang mereka hasilkan tidak sebanyak Cina. Maka, Amerika Serikat pun meminta Cina harus ikut terikat dalam perjanjian baru tersebut. Sementara Cina berpendapat, besarnya buangan emisi mereka akibat banyaknya jumlah penduduk.
Selain itu, Cina berpendapat, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, atau Jepang, sudah lebih dulu mengotori bumi. Kenapa negara berkembang lainnya harus ikut menanggung dosa lingkungan negara-negara maju tersebut?
Cina juga kini beralasan bahwa mereka sudah melakukan banyak sekali inisiatif untuk beralih ke teknologi hijau. Hanya saja, Amerika Serikat meminta Cina membuka diri terhadap dunia internasional (dan lembaga pengukur emisi karbon asing) demi transparansi pelaporan inisiatif-inisiatif tersebut. Bagi Cina, ini bisa dianggap sebagai campur tangan atas kedaulatan negara mereka.
Amerika Serikat juga sudah kehilangan keunggulannya sebagai pemimpin di dunia internasional, setidaknya dari segi ekonomi dan inisiatifnya dalam isu perubahan iklim. Maka saat mereka menekan Cina itu bisa dilihat sebagai upaya menghambat kemajuan ekonomi Cina.
India juga menjadi negara berkembang dengan buangan polusi besar yang jadi sorotan dalam setiap Konferensi Perubahan Iklim PBB. Sama seperti Cina, mereka mengajukan alasan tingginya jumlah penduduk sebagai faktor penyebab besarnya polusi yang mereka hasilkan.
India juga menyebut bahwa mereka punya hak untuk berkembang secara ekonomi, mensejahterakan ratusan juta penduduk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bagi negara-negara seperti Rusia dan Kanada, masing-masing dengan ketergantungan terhadap industri perminyakan, pembatasan emisi karbondioksida berarti memberi beban bagi pertumbuhan ekonomi mereka.
Sementara, buat negara-negara kecil kepulauan, jumlah emisi karbondioksida yang beredar di udara bukan soal kesempatan ekonomi, tapi masalah hidup mati. Dampak perubahan iklim bisa berarti kematian bagi mereka. Kenaikan permukaan air laut bisa menenggelamkan negara mereka.
Negara-negara termiskin dunia pun masih mengalami permasalahan mendasar soal penyediaan makanan atau akses terhadap air. Apalagi nanti, saat dampak perubahan iklim mulai terasa.
Bahkan tak perlu menunggu nanti, laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB yang beranggotakan ratusan peneliti dari berbagai negara sudah menyatakan, perubahan iklim adalah penyebab berbagai peristiwa cuaca ekstrem yang sudah terjadi belakangan ini. Dan peristiwa yang terjadi sekarang (masih ingat banjir Bangkok?) hanyalah kilasan dari skala peristiwa yang bisa terjadi di masa depan saat dampak perubahan iklim terjadi makin sering.
Di mana Indonesia?
Ada 123 juta penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan di pinggir pantai. Artinya, setengah penduduk Indonesia rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim.
Akses terhadap air pun masih sulit di sebagian kawasan timur Indonesia. Belum lagi petani-petani Indonesia yang kesulitan panen akibat kekeringan sambil terus tergerus produk pertanian impor. Pemasukan nelayan Indonesia pun bisa terus menyusut ketika cuaca di lautan makin tidak menentu.
Itu hanya beberapa contoh kelompok yang akan terancam oleh dampak perubahan iklim. Indonesia memiliki kerentanan sekaligus juga harus berkembang ekonominya.
Hanya saja, dalam tiga kali Konferensi Perubahan Iklim PBB yang saya datangi (Nusa Dua pada 2007, Kopenhagen pada 2009, dan Durban pada 2011), Indonesia terlihat tidak terlalu berminat membela kepentingan ekonominya (artinya, menjadi sama vokalnya dengan India dan Cina dalam perundingan internasional tersebut) atau membela kerentanan penduduknya (seperti yang dilakukan negara-negara termiskin atau negara kecil kepulauan).
Delegasi Indonesia tetap menyuarakan pentingnya negara-negara maju memikul tanggung jawab karbon mereka. Tetapi, suara mereka itu kalah keras dibanding upaya untuk menawarkan jasa hutan-hutan tropisnya dalam skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/mengurangi emisi akibat penebangan dan kerusakan hutan).
Lewat skema REDD ini, negara-negara maju akan membayar negara-negara berkembang pemilik hutan tropis (termasuk Indonesia) untuk tidak menebang hutan. Alasannya, hutan-hutan ini berperan untuk menyerap emisi karbondioksida. Dengan memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia, Indonesia tentu bisa diuntungkan dari skema ekonomi ini.
Selain soal REDD, Indonesia juga belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam perundingan di antara kelompok negara-negara berkembang yang kuat.
Negara-negara seperti India, Cina, Afrika Selatan, dan Brasil sudah membuat front tersendiri dengan nama BASIC untuk menggalang kekuatan saat menghadapi negara-negara maju. Tetapi buat Indonesia, yang penting adalah mempresentasikan aktivitas REDD yang sudah berlangsung di Indonesia. Dalam peliputan media internasional untuk negosiasi pun, suara dari Indonesia jarang dikejar.
Padahal, Indonesia membawa delegasi negosiator yang besar untuk datang ke Konferensi ini. Analisis yang dilakukan oleh Hoy Chicago menghitung bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah delegasi ketiga terbesar di Konferensi tersebut dengan 266 orang. Tuan rumah Afrika Selatan membawa 386 orang, dan Brasil, yang sedang menyiapkan diri untuk pekerjaan besar Konferensi Rio+20 pada Juni 2012 nanti, membawa 288 orang.
Pemain besar, Cina, membawa 154 orang. Jepang membawa 134 orang, nyaris setengah dari jumlah delegasi Indonesia. Amerika Serikat, lebih sedikit lagi, 93 orang. Pemain besar lain dalam negosiasi, India, malah hanya 49 orang.
Pavilion Indonesia yang mewah di Durban, Afrika Selatan--tempat pusat aktivitas pameran program-program menanggapi perubahan iklim yang sedang berlangsung di Indonesia--malah disponsori oleh tiga perusahaan besar yang berhubungan dengan penebangan hutan, kelapa sawit, serta penambangan minyak.
Jika Indonesia tak bisa menjaga kemandirian dari kepentingan industri dalam forum negosiasi pemerintahan, bagaimana kita bisa percaya pada niat pemerintah untuk melindungi penduduknya dari kerentanan atas dampak perubahan iklim?
Forum Konferensi Iklim PBB pun menjadi ajang tampil untuk kemudian mencari kerjasama-kerjasama antarnegara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah menetapkan target kesuksesan delegasi negosiator Indonesia ke Durban.
Yaitu, selain mendorong terbentuknya protokol baru, juga menciptakan peluang dan kerja sama pengelolaan hutan yang membawa keuntungan bagi Indonesia. “Jangan hadiri COP hanya untuk itu (lahirnya protokol baru). Kita ada tujuan, misalkan kerja sama perawatan hutan. Saya akan ukur keberhasilan delegasi ke Afsel dari dua itu," kata dia seperti dikutip Antara.
Tampaknya, ‘perubahan iklim’ baru menjadi alasan untuk mencari kerjasama asing daripada melindungi warga atau memikirkan cara terbersih dari segi lingkungan untuk mensejahterakan rakyat.
Hak Membangun vs Hak Hidup
.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment